ppc

Saturday, July 31, 2010

Masjid Jami Sungai Bahar

Masjid Jami Sungai Banar adalah sebuah masjid yang terletak di tepi Sungai Banar, sekitar 3 km dari Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Tepatnya, di perbatasan kelurahan Jarang Kuantan dan Desa Ujung Murung (sebelumnya masuk Desa Ilir Mesjid).
Sejarah

Masjid pertama di Amuntai ini berdiri pada tahun 1804 Masehi (1218 Hijriyah dalam penanggalan Islam). Terdokumentasi dalam catatan pahatan pada bedug yang masih dimanfaatkan.

Dikisahkan, sejumlah warga Amuntai yang sedang berguru kepada Waliyullah Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari di Martapura, menerima saran dari Syekh agar dibangun sebuah masjid di wilayah Amuntai. Kebetulan saat itu memang belum ada masjid. Selain itu Sang Wali juga memberikan sebuah Kitab Suci Al Qur'an tulisan tangan.

Bak gayung bersambut, saran itupun disambut hangat warga Amuntai. Secara bersama, masyarakat mempersiapkan pembangunan masjid, seperti batu-batu, kayu, sirap, dll. Hingga kini, bahan baku masjid seperti kayu ulin, tiang, balok, papan dan sirap masih dapat disaksikan di sekitar masjid. Lokasi pertama yang dipilih sekitar 500 meter dari lokasi masjid yang sekarang.

Keanehan terjadi menjelang pemasangan tiang masjid (proses ini dinamakan batajak tiang dalam bahasa Banjar). Mendadak masyarakat terkejut melihat sejumlah tiang besar yang terbuat dari kayu ulin itu hilang dari tempat pembuatannya. Setelah dilakukan pencarian, tiang-tiang itu ditemukan di tepi sungai di lokasi yang sekarang. Ketika itu, sungainya belum ada namanya.

Tentu saja kegaduhan muncul mengenai siapa yang memindahkan tiang-tiang yang memiliki bobot beberapa ton itu. Untuk mengangkat satu tiang saja dibutuhkan puluhan orang, apalagi lebih dari satu tiang. Padahal malam sebelumnya, masyarakat masih melihat tiang-tiang tersebut. Keanehan itu pada akhirnya dipandang sebagai sebuah isyarat gaib bahwa lokasi masjid haruslah di tempat tiang-tiang itu berada sekarang. Maka dimulailah pembangunan masjid tersebut. Di kemudian hari tiang-tiang masjid tersebut ada yang mengeramatkan.

Bangunan asli masjid berukuran 25 x 20 meter. Berbentuk mirip Rumah Adat Banjar (panggung), memakai tiang dan bertingkat. Bahan-bahan rangka, lantai dan dinding papan dari kayu ulin dengan bagian atap dari sirap yang tinggi. Ketika itu belum dibuat menara.

Sedangkan mimbar khotbah merupakan wakaf pribadi H. Mahmud (tokoh masyarakat setempat) yang ukirannya dikerjakan 2 orang ahli ukir pada masa itu, yaitu Buha dan Thahir. Mimbar itu terbuat dari kayu ulin, berukuran 3,8 meter x 1 meter dengan total tinggi 4,5 meter terdiri dari badan 2 meter dan menara 2,5 meter.
[sunting] Peristiwa aneh

Usai masjid dibangun, terjadi lagi peristiwa aneh. Ketika itu masyarakat bersyukur menyaksikan jerih payahnya rampung. Mereka pun bermusyawarah menentukan nama terbaik buat masjidnya itu. Tetapi belum ada keputusan yang diambil.

Tiba-tiba datanglah sebuah perahu yang merapat di tepi sungai dekat masjid. Penumpang perahu yang tampak seperti pedagang itu pun turun dan meminta izin masyarakat untuk menunaikan salat. Karena kebetulan bertepatan tibanya dengan waktu shalat. Tentu saja masyarakat merasa senang, karena orang itu merupakan jamaah shalat yang pertama dari daerah lain.

Setelah salat, orang itu kembali melanjutkan perjalanannya. Tetapi masyarakat terkejut melihat sebuah kantong berisi uang tertinggal di tepi sungai dekat perahu tadi bersandar. Merekapun sepakat untuk menyimpannya kalau-kalau orang itu kembali. Apalagi setelah diingatnya orang itu berperilaku baik dan alim.[1]

Benar saja, beberapa hari kemudian orang itu datang lagi. Masyarakat pun kembali bergembira melihat si pemilik kantong berisi uang yang cukup banyak itu. Mereka bukan saja menyerahkan hak orang itu, melainkan juga menjamunya makan.

Pada waktu itulah, orang yang tidak diketahui jati dirinya itu berkata, "Urang-urang sini banar-banar kadada nang culasnya (orang-orang di sini semuanya jujur, tidak ada yang culas atau curang - terjemahan dari bahasa Banjar)". Kemudian orang itu bertanya seputar nama sungai tempat perahunya ditambat dan juga nama masjid yang baru dibangun itu. Masyarakat serentak menggelengkan kepalanya. Baik sungai atau masjid memang belum ada namanya. Orang itupun tersenyum sambil berkata,"Bagaimana kalau sungai itu diberi nama Sungai Banar dan masjidnya diberi nama Masigit (masjid) Sungai Banar?" Serentak masyarakat bertakbir memuji kebesaran Allah SWT. Kebuntuan masyarakat menamai masjid pun terpecahkan. Setelah itu, pria itupun pergi. Tidak seorangpun mengetahui asal usulnya.[1]
[sunting] Usulan penggantian nama

Hingga kini masyarakat meyakini pria misterius itu tergolong Waliyullah. Sebagai buktinya, pernah ada upaya penggantian nama masjid telah berulangkali dilakukan, tetapi masyarakat tetap tidak bisa menerima. Upaya penggantian pernah terjadi tahun 1990. Nama masjid diganti menjadi Masjid Baiturrahman. Nama baru ini bahkan disahkan dalam sertifikat di Kantor Pertanahan Hulu Sungai Utara. Pada tahun 2000, muncul nama baru: Masjid Istiqomah. Nama inipun tercantum dalam Skep Kakanwil Depag Kalsel tentang Penetapan Nomor Induk Masjid, dengan nomor urut: 1764090/61916.

Tetapi nama-nama baru itu sangat tidak populer dan hampir tidak pernah disebut masyarakat, kecuali nama Masjid Sungai Banar. Belakangan nama masjid ditambah menjadi Masjid Jami Sungai Banar untuk menunjukkan sebagai masjid besar dan bersejarah. Berdirinya Masjid Jami Sungai Banar menyemarakkan kehidupan beragama masyarakat Amuntai dan sekitarnya. Bahkan ada yang datang dari wilayah lain untuk belajar dan menuntut ilmu. Keberadaannya dapat dikatakan sebagai pusat pengembangan Agama Islam waktu itu.[1]

No comments:

Post a Comment